BAB
II
PERILAKU
KEWIRAUSAHAAN
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari perilaku kewirausahaan ini
diharapkan:
1. Mempunyai pemahaman mengenai Perilaku
Kewirausahaan
2. Mempunyai pemahaman mengenai
Syarat-Syarat dan Ciri-Ciri Seorang Wirausaha yang Sukses sehingga kelak akan
bisa menjadi pengusaha yang sukses
3. Mempunyai wawasan mengenai kecerdasan
spiritual, emosional, intelektual dan adversity dan bagaimana bisa mencapai
kecerdasan-kecerdasan tersebut.
B. POKOK BAHASAN
1. Definisi Perilaku Kewirausahaan
Sikap dan perilaku merupakan kesatuan sifat
seseorang yang terbentuk karena kebiasaan sehari-hari. Perilaku kewirausahaan
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor itu adalah hak
kepemilikan (property right, PR), kemampuan/ kompetensi (competency/ability,
C), dan insentif (incentive), sedangkan faktor eksternalnya meliputi lingkungan
(environment, E). Dengan demikian Sikap dan perilaku dapat dirubah oleh diri
sendiri dan atau oleh adanya tekanan/pengaruh lingkungan. Adanya pengaruh dari
dalam diri sendiri dan dari luar lingkungan bergaul maka tumbuhlah sikap dan
perilaku individu yang spesifik.
Sebagai Wirausaha memiliki sikap-sikap dasar
yang spesifik. Seorang wirausaha memiliki sikap bertekat bulat ingin
berwirausaha. Bukan karena terpaksa. Ia ingin mandiri dan ingin berhasil.
Karena ingin berhasil maka ia bersikap positif. Positif terhadap diri sendiri
maupun positif terhadap orang lain. Namun dmikian masih ada kemungkinan untuk
gagal, tetapi ia tidak gentar. Karena itu ia mau belajar dari pengalaman,
termasuk dari kegagalannya. Yang pasti ia berani mandiri dan memimpin.
Bertolak pada adanya sikap dasar tersebut
diatas kiranya terbentuknya perilaku wirausaha. Wirausaha memulai usahanya
dengan berkomunikasi, dalam rangka mengumpulkan informasi, maupun menjalin
relasi. Dalam situasi usaha pasti akan selalu terjadi perubahan. Untuk itu
sebagai seorang wirausaha harus memiliki sikap terhadap perubahan, sekalipun
Perubahan jarang dapat diterima secara total oleh setiap orang yang terlibat.
Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Sikap
dan Perilaku
1. Efisiensi.
Efisiensi dapat dirumuskan sebagai suatu
teknik operasional yang berdampak Pada pencapaian tujuan secara optimal dan
efektif, sehingga sumber daya, waktu, potensi, dan modal termanfaatkan secara
penuh tanpa terbuang. Sejalan dengan itu, suatu manajemen yang sukses dapat
diartikan sebagai cara yang tidak saja efektif dalam mencapai tujuan, tetapi
juga efisien dalam memanfaatkan sumber daya.
2. Perubahan lingkungan.
Dinamika lingkungan ditunjukkan oleh perubahan
yang sedemikian cepat terjadi di segala bidang. Perubahan lingkungan yang
relevan dengan manajemen adalah polusi. Polusi lingkungan adalah akibat dari
pengeksploitasian sumber daya dan industrialisasi. Banyak ahli Ekologi (Ilmuwan
yang mempelajari hubungan manusia dan lingkungannya) melihat kemungkinan
kerusakan sumber daya yang tidak dapat tergantikan kembali. Manajer dalam suatu
organisasi sebagaimana masyarakat professi dan akademisi saat ini mulai
menunjukkan minat terhadap ekologi. Telah disadari bahwa tindakan nyata harus
diambil untuk meningkatkan kegiatan pengusaha sehingga mereka tidak menyebabkan
perubahan lingkungan yang drastic dan merusak.
3. Perubahan social.
Perubahan dalam masyarakat yang dapat muncul
adalah pertumbuhan populasi, perubahan kebutuhan masyarakat dan variasi
aspek-aspek pengembangan. Hasilnya, seorang pengusaha harus berubah untuk
memuaskan kebutuhan masyarakat.
4. Persaingan.
Persaingan termasuk pada usaha yang menjual produk-produk
sejenis dan memberikan layanan yang sama sehingga bersaing untuk mendapatkan
pelanggan yang sama. Terlepas dari barang dan jasa yang ditawarkan, Anda akan
selalu dihadapkan dengan persaingan, bahkan persaingan terjadi walaupun Anda
menawarkan barang atau jasa yang tidak sama dengan pesaing Anda.. Dengan
demikian, mengenali pesaingan akan membantu Anda mengerti secara toal
lingkungan usaha dimana Anda berusaha. Jika Anda tidak tahu bagaimana pesaing
Anda bereaksi terhadap rencana Anda, Anda mungkin menjalankan bisis Anda secara
tidak efisien. Persaingan membuat seorang pengusaha meningkatkan kualitas
barang dan/atau jasanya secara berkelanjutan. Ini berarti mutu barang/jasa
meningkat seiring dengan waktu.
5. Perubahan teknologi.
Teknologi secara berkala berubah sesuai dengan
permintaan konsumen. Pengembangan Teknologi baru dilakukan untuk menghasilkan
produk atau jasa baru. Pengusaha seharusnya menyadari bahwa pengembangan
teknologi baru akan mempengaruhi kegiatan usahanya. Ketergantungan Anda terhadap
teknologi ditentukan oleh lingkungan dimana kegiatan usaha Anda beroperasi, dan
kesuksesan usaha Anda tergantung pada produk itu sendiri, metode produksi dan
strategi pemasarannya. Penerapan teknologi baru juga dipengaruhi oleh sifat dan
keagresifan pesaing, ukuran keseluruhan industri dan tingkat pertumbuhan.
6. Perubahan Minat.
Pengusaha menggunakan perilaku mereka untuk
mengendalikan situasi. Sikap mental positif membantu untuk tetap focus pada
kegiatan yang paling diminati dan hasil yang ingin dicapai. Sebagai tambahan,
pengalaman, ketekunan dan kerja keras adalah inti suksesnya seorang pengusaha.
2. Syarat-Syarat dan Ciri-Ciri Seorang
Wirausaha yang Sukses
Untuk menjadi seorang wirausahawan, diperlukan
dukungan dari orang lain yang berhubungan dengan bisnis yang kita kelola.
Seorang wirausaha harus mau menghadapi tantangan dan resiko yang ada. Resiko
dijadikan sebagai pemacu untuk maju, dengan adanya resiko, seorang wirausaha
akan semakin maju. Menurut Murphy dan Peek yang diterjemahkan dalam bukunya
oleh Bukhari Alam, ada delapan anak tangga yang meliputi keberhasilan seorang
wirausaha dalam mengembangkan profesinya, yaitu:
a. Kerja keras
Kerja keras merupakan modal keberhasilan
seorang wirausaha. Setiap pengusaha yang sukses menempuh kerja keras yang
sungguh – sungguh dalam usahanya.
b. Kerjasama dengan orang lain
Kerjasama dengan orang lain dapat diwujudkan
dalam lingkungan pergaulan sebagai langkah pertama untuk mengembangkan usaha.
SEorang wirausaha harus murah hati, mudah bergaul, ramah dan disenangi
masyarakat dan menghindari perbuatan yang merugikan orang lain.
c. Penampilan yang baik
Penampilan yang baik ditekankan pada
penampilan perilaku yang jujur dan disiplin
d. Yakin
Seorang wirausaha harus dapat yakin kepada
diri sendiri, yaitu keyakinan untuk maju dan dilandasi ketekunan serta
kesabaran
e. Pandai membuat keputusan
Seorang wirausaha harus dapat membuat
keputusan. Jika dihadapkan pada alternative sulit, dengan cara pertimbangan
yang matang, jangan ragu – ragu dalam mengambil keputusan yang baik sesuai
dengan keyakinan.
f. Mau menambah Ilmu pengetahuan
Dengan menambah ilmu pengetahuan, terutama di
bidang usaha, diharapkan seorang wirausaha dapat mendukung kemampuan dan
kemajuan dalam usaha
g. Ambisi untuk maju
Tanpa ambisi yang kuat, seorang wirausaha
tidak akan dapat mencapai keberhasilan. Ambisi yang kuat, harus diimbangi
dengan usaha yang keras dan disiplin diri yang baik
h. Pandai berkomunikasi
Seorang wirausaha harus dapat menarik orang
lain dengan tutur kata yang baik, sopan, jujur dan percaya diri. Dengan
demikian akan memberi kesan kepada orang lain menjadi tertarik daan orang akan
percaya dengan apa yang disampaikan.
Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki
oleh seorang wirausaha
1. Percaya Diri
Orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang
yang sudah matang jasmani dan rokhaninya. Karakteristik kematangan seseorang
adalah ia tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa tanggung jawab yang
tinggi, obyektif, dan kritis, emosionalnya stabil, tidak gampang tersinggung
dan naik pitam.
2. Berorientasi pada tugas dan hasil
Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis
jika kita berusaha menyingkirkan prestise. Kita akan mampu bekerja keras,
enerjik, tanpa malu dilihat teman, asal yang kita kerjakan adalah halal.
3. Pengambilan Resiko
Wirausaha penuh resiko dan tantangan, seperti
persaingan, harga turun naik, barang tidak laku dan sebagainya. Namun semua
tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan.
4. Kepemimpinan
Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik
dari bawahan, ia harus bersifat responsive.
5. Keorisinilan
Yang dimaksud orisinal di sini ialah I tidak
hanya mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang
orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru
sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau
reintegrasi dari komponen – komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan
sesuatu yang baru.
6. Berorientasi ke masa depan
Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan,
seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar
jelas langkah – langkah yang akan dilaksanakan.
7. Kreativitas
Menurut Conny Setiawan (1984:8), kreativitas
diartikan sebaga kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Produk baru
artinya tidak perlu seluruhnya baru, tapi dapat merupakan bagian – bagian
produk saja. Contoh: Seorang wirausaha membuat berbagai kreasi dalam kegiatan
usahanya, seperti susunan barang, pengaturan rak pajangan, menyebarkan brosur
promosi dsb. Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi –
kombinasi baru atau melihat hubungan – hubungan baru antara unsure, data,
variable; yang sudah ada sebelumnya.
8. Konsep 10 D dari Bygrave
· Dream
Seorang wirausaha mempunyai visi bagaimana
keinginannya terhadap masa depan pribadi dan bisnisnya dan yang paling penting
adalah dia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan impian tsb.
· Decisiveness
Seorang wirausaha adalah orang yang tidak
bekerja lambat. Kecepatan dan ketepatan dia mengambil keputusan adalah
merupakan factor kunci (key factor) dalam kesuksesan bisnisnya.
· Doers
Seorang wirausaha tidak mau menunda – nunda
kesempatan yang dapat dimanfaatkan
· Determination
Seorang wirausaha dalam melaksanakan
kegiatannya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi dan tidak mau menyerah,
walaupun dia dihadapkan pada halangan atau rintangan yang tidak mungkin diatasi
· Dedication
Dedikasi seorang wirausahawan sangat tinggi,
semua perhatian dan kegiatannya dipusatkan semata – mata untuk kegiatan
bisnisnya.
· Devotion
Devotion berarti kegemaran atau kegila –
gilaan. Hal inilah yang mendorong dia mencapai keberhasilan yang sangat efektif
untuk menjual produk yang ditawarkannya, karena seorang wirausahawan akan
mencintai pekerjaan bisnisnya.
· Details
Seorang wirausahawan akan selalu memperhatikan
factor – factor kritis. Dia tidak akan mengabaikan factor – factor kecil
tertentu yang dapat menghambat kegiatan usahanya.
· Destiny
Seorang wirausaha bertanggung jawab terhadap
nasib dan tujuan yang hendak dicapainya.
· Dollars
Wirausahawan tidak sangat mengutamakan
kekayaan, motivasinya bukan memperoleh uang, akan tetapi uang dianggap sebagai
ukuran kesuksesan bisnisnya.
· Distribute
Seorang wirausahawan bersedia mendistribusikan
kepemilikan bisnisnya terhadap orang – orang kepercayannya, yaitu orang – orang
yang kritis dan mau diajak untuk mencapai sukses dalam bidang bisnis
3. Definisi Perilaku
Perilaku manusia adalah suatu aktivitas
manusia itu sendiri (Soekidjo,N,1993 : 55) Secara operasional, perilaku dapat
diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari luar
subjek tersebut. (Soekidjo,N,1993 : 58)
Perilaku diartikan sebagai suatu aksi-reaksi
organisme terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu
yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan.
Berarti rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku tertentu.
(Notoatmojo,S, 1997 : 60)
Perilaku adalah tindakan atau perilaku suatu
organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat di pelajari. (Robert Kwik, 1974,
sebagaimana dikutip oleh Notoatmojo,S 1997) Perilaku manusia pada hakikatnya
adalah proses interaksi individu dengan lingkungannya sebagai manifestasi
hayati bahwa dia adalah makhluk hidup. (Sri Kusmiyati dan Desminiarti, 1990 :
1) Perilaku manusia adalah aktivitas yang timbul karena adanya stimulus dan
respons serta dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. (Sunaryo,
2004 : 3)
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu
stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi
spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak.
Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor
yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat
kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang
menerap-kan perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah
alasan dibalik perilaku individu, sebelum ia mampu mengubah perilaku tersebut.
Dalam sebuah buku yang berjudul “Perilaku
Manusia” Drs. Leonard F. Polhaupessy, Psi. menguraikan perilaku adalah sebuah
gerakan yang dapat diamati dari luar, seperti orang berjalan, naik sepeda, dan
mengendarai motor atau mobil. Untuk aktifitas ini mereka harus berbuat sesuatu,
misalnya kaki yang satu harus diletakkan pada kaki yang lain. Jelas, ini sebuah
bentuk perilaku. Cerita ini dari satu segi. Jika seseoang duduk diam dengan
sebuah buku ditangannya, ia dikatakan sedang berperilaku. Ia sedang
membaca. Sekalipun pengamatan dari luar sangat minimal, sebenarnya perilaku ada
dibalik tirai tubuh, didalam tubuh manusia.
Dalam buku lain diuraikan bahwa perilaku
adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme (makhluk hidup)yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup
mulai dari tumbuh – tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,
karena mereka mempunyai aktifitas masing – masing. Sehingga yang dimaksu
perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktifitas manusia
darimanusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain:
berjalan, berbicara, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia)
adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat diamati langsung
maupun yang tidak dapat diamati pihak luar (Notoatmodjo 2003 hal 114).
Skiner (1938) seorang ahli psikologi,
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui
proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
merespon, maka teori skiner disebut teori “S – O - R”atau Stimulus – Organisme
– Respon. Skiner membedakan adanya dua proses.
1. Respondent respon atau reflexsive, yakni
respon yang ditimbulkan oleh rangsangan – rangsangan (stimulus) tertentu.
Stimulus semacam ini disebutelecting stimulation karena menimbulkan respon –
respon yang relative tetap. Misalnya : makanan yang lezat menimbulkan keinginan
untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Respondent
respon ini juga mencakup perilaku emosinal misalnya mendengar berita musibah
menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya ddengan
mengadakan pesta, dan sebagainya.
2. Operant respon atau instrumental respon,
yakni respon yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau
perangsang tertentu. Pernagsang ini disebut reinforcing stimulation atau
reinforce, karena memperkuat respon. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan
melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya atau job
skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atsannya (stimulus baru), maka
petugas kesehatan tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus
ini, maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Perilaku tertutup adalah respon
seseorang terhadap stimulus dakam bentuk terselubung atau tertutup (covert).
Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi belumbisa diamati
secara jelas oleh orang lain.
2) Perilaku terbuka adalah respon
seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon
terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau
praktek (practice).
Diatas telah dituliskan bahwa perilaku
merupakan bentuk respon dari stimulus (rangsangan dari luar). Hal ini berarti
meskipun bentuk stimulusnya sama namun bentuk respon akan berbeda dari setiap
orang. Faktor – factor yang membedakan respon terhadap stimulus disebut
determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
Faktor internal yaitu karakteristik orang yang
bersangkutan yang bersifat given atau bawaan misalnya : tingkat kecerdasan,
tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
Faktor eksternal yaitu lingkungan, baik
lingkungan fisik, fisik, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan
ini sering menjadi factor yang dominanyang mewarnai perilaku seseorang.
(Notoatmodjo, 2007 hal 139)
Proses Tejadinya Perilaku
Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa
sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), didalam diri orang
tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni.
1) Awareness (kesadaran), yakni orang
tersebut menyadari dalam arti mengetahui setimulus (objek) terlebih dahulu
2) Interest, yakni orang mulai tertarik
kepada stimulus
3) Evaluation (menimbang – nimbang baik
dan tidaknya stimulus bagi dirinya).Hal ini berarti sikap responden sudah lebih
baik lagi
4) Trial, orang telah mulai mencoba
perilaku baru
5) Adoption, subjek telah berperilaku
baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi
perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetanhuan, kesadaran, dan
sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat
langgeng (long lasting). Notoatmodjo, 2003 hal 122)
4. Definisi Kecerdasan
Terdapat beberapa cara untuk mendefinisikan
kecerdasan. Dalam beberapa kasus, kecerdasan bisa termasuk kreativitas, kepribadian,watak, pengetahuan, atau kebijaksanaan.
Namun, beberapa psikolog tak
memasukkan hal-hal tadi dalam kerangka definisi kecerdasan. Kecerdasan biasanya
merujuk pada kemampuan atau kapasitas mentaldalam
berpikir, namun belum terdapat definisi yang memuaskan mengenai kecerdasan Stenberg& Slater (1982) mendefinisikannya
sebagai tindakanatau pemikiran yang
bertujuan dan adaptif
Kecerdasan ialah istilah
umum yang digunakan untuk menjelaskan sifat pikiran yang mencakup
sejumlah kemampuan, seperti kemampuanmenalar, merencanakan, memecahkan masalah,
berpikir abstrak,
memahami gagasan, menggunakan bahasa,
dan belajar. Kecerdasan
erat kaitannya dengan kemampuan kognitif yang dimiliki
oleh individu.
Kecerdasan dapat diukur dengan menggunakan alat psikometri yang biasa
disebut sebagai tes IQ. Ada
juga pendapat yang menyatakan bahwa IQ merupakan usia mental yang dimiliki
manusia berdasarkan perbandingan usia kronologis.
Berdasarkan pengertian tradisional, kecerdasan
meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur sempit
ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah),
dan sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk mencapai sukses di bidang akademis
(menjadi professor). Pandangan baru yang berkembang : ada kecerdasan lain di
luar IQ, seperti bakat, ketajaman pengamatan sosial, hubungan sosial,
kematangan emosional, dll. yang harus juga dikembangkan.
Menurut Sumarya (2004) ada beberapa jenis
kecerdasan antara lain antara lain: kecerdasan phisik, kecerdasan intelektual,
kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
a. Kecerdasan phisik secara kasar dapat
diartikan sehat secara phisik. anak-anak memperoleh perhatian yang memadai:
perhatikan empat sehat lima sempurna (nasi atau roti, sayur, lauk-pauk atau
daging, buah, susu),. Jangan sampai kesehatan phisik terganggu karena kurang
gizi. Soal gizi bukan kenikmatan tetapi kelengkapan. Kesehatan phisik lebih
mudah diperhatikan, dan menjadi kekuatan atau modal untuk menunjang
kecerdasan-kecerdasan lainnya.
b. kecerdasan intelektual kiranya secara umum
dipahami dan ini yang bertahun-tahun menjadi tekanan pelakanaan proses
pendidikan atau pembelajaran. Jika anak kurang gizi, maka sulit juga untuk
menjadi cerdas secara intelektual.
c. kecerdasan sosial, secara kasar dapat
diartikan “orang dapat bergaul dengan siapapun dan dalam keadaan apapun”.
Sekali lagi anak atau orang yang sakit- sakit atau tidak sehat secara phisik
akan sulit juga untuk bersahabat atau bersaudara dengan siapapun dan apapun
(bacakecerdasan
emosi pada pekerjaan). Pada umumnya yang sakit-sakitan atau tidak sehat
secara phisik lalu memperoleh perlakuan khusus yang mengarah ke pemanjaan alias
menjerumuskan anak ke masa depan yang kurang membahagiakan atau
mensejahterakan.
d. kecerdasan emosional berarti orang mampu
mengelola emosinya sendiri serta emosi yang lain. Emosi merupakan
kekuatan yang harus dikelola dan disinerjikan sehingga bermanfaat untuk
kesehatan atau kesejahteraan anak. Pelatihan untuk menghadapi dan mengelola
aneka macam emosi perlu memperoleh tempat yang memadai.
e. kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai
‘yang mampu mengasihi Tuhan dan sesamanya’. Kasih itu bebas, tanpa batas , dan
kebebasan hanya dibatasi oleh kasih. Mengasihi berarti tidak melecehkan atau
merendahkan yang lain, tetapi menghormati dan menghargai martabat harkat yang
lain. Ingat: masing-masing dari individu ‘diadakan, dilahirkan, dibesarkan,
dididik’ oleh dan dengan kasih, dan masing-masing dari kita adalah ‘buah kasih’
atau ‘kasih’. Jadi saling mengasihi mudah, setiap bertemu dengan orang berarti
bertemu dengan kasih, saling kasih-kasihan.
Dari uraian tersebut diatas kecerdasan adalah
kecerdasan terbagai ke dalam berbagai kecerdasan, sedangkan kecerdasan itu
sendiri adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu untuk memecahkan
sesuatu persolan.
5. Kecerdasan Spiritual
Pada suatu hari seorang guru fisika disebuah
sekolah menengah menerangkan kepada para siswanya bahwa hidup manusia tidak
lain adalah proses pembakaran. Mendengar keterangan sang guru itu, seorang
siswa secara spontan melontarkan suatu pertanyaan tajam yang bernada menggugat,"kalau
begitu, lalu apa artinya hidup manusia didunia ini?" (Frankl, dalam
Koeswara, 1992).
Pembicaraan mengenai SQ atau kecerdasan
spiritual tidak lepas dari konsep filosofis yang menjadi latar belakangnya.
Konsep mengenai SQ itu sendiri sebenarnya sudah lama diperbincangkan, hanya
saja dengan kemasan yang berbeda. Dalam ilmu psikologi dikenal tiga aliran
besar yang menjadi inspirasi bagi banyak aliran yang berkembang pada saat
kemudian. Aliran tersebut adalah behaviorisme, psikoanalisis dan humanistis.
Kecerdasan spiritual banyak mengembangkan konsep-konsepnya dari aliran
humanistis. Aliran humanistis ini kemudian mengembangkan sayapnya secara
spesifik membentuk psikologi transpersonal, dengan landasan "pengalaman
keagamaan" sebagai peak experience, plateau dan fartherst of human nature.
Menurut Maslow (Rakhmat dalam Zohar dan Marshall, 2000) psikologi belum
sempurna sebelum difokuskan kembali dalam pandangan spiritual dan
transpersonal.
Penelusuran pemahaman kecerdasan spiritual
(SQ) saat sekarang nampaknya cukup relevan, mengingat banyaknya
persoalan-persoalan sosial yang semakin membebani hidup seseorang. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Frankl (Koeswara, 1992) bahwa sebagian besar masyarakat
sekarang mengidap neurosis kolektif. Ciri dari gejala tersebut adalah:
Sikap masa bodoh terhadap hidup, yaitu suatu
sikap yang menunjukkan pesimisme dalam menghadapi masa depan hidupnya.
Sikap fatalistik terhadap hidup, menganggap
bahwa masa depan sebagai sesuatu yang mustahil dan membuat rencana bagi masa depan
adalah kesia-siaan.
Pemikiran konformis dan kolektivis. Yaitu
cenderung melebur dalam masa dan melakukan aktivitas atas nama kelompok.
Fanatisme, yaitu mengingkari kelebihan yang dimiliki oleh kelompok atau orang
lain
Dengan ciri-ciri tersebut manusia berjalan
menuju penyalahartian dan penyalahtafsiran tentang dirinya sendiri sebagai
sesuatu yang "tidak lain" (nothing but) dari refleks-refleks atau
kumpulan dorongan (biologisme), dari mekanisme-mekanisme psikis (psikologisme)
dan produk lingkungan ekonomis (sosiologisme). Dengan ketiga konteks tersebut
maka manusia "tidak lain" adalah mesin. Kondisi tersebut merupakan
penderitaan spiritual bagi manusia.
Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah
SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah
kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ
tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada,
tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
“SQ adalah kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan masalah makna dan nilai”. ‘SQ adalah kecerdasan untuk
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya “Kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup
seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain “Kecerdasan ini
tidak hanya untuk mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga untuk secara
kreatif menemukan nilai-nilai baru.
Menurut Zohar dan Marshal memang SQ mempunyai
kaitan dengan kreativitas. Tetapi kreativitas di sini juga terkait dengan
masalah nilai. Dikatakan bahwa SQ memungkinkan manusia menjadi kreatif,
mengubah aturan dan situasi, memberi rasa moral, menentukan baik dan jahat,
memberi gambaran atau bayangan kemungkinan yang belum terwujud.
Aspek selanjutnya dari SQ adalah bahwa SQ
berkaitan dengan unsur pusat dari bagian dari diri manusia yang paling dalam
dan menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia yang lain.
“SQ adalah kecerdasan yang bertumpu pada
bagian dalam diri kita yang berhubungan dengan kearifan diluar ego atau jiwa
sadar.”
“SQ menjadikan manusia yang benar- benar utuh
secara intelektual, emosional dan spiritual.”
“SQ adalah kecerdasan jiwa. Ia adalah
kecerdasan yang dapat membantu manusia menyembuhkan dan membangun diri manusia
secara utuh.”
“SQ adalah landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif oleh karena itu SQ adalah kecerdasan
manusia yang paling tinggi. Hal ini secara langsung atau tidak langsung
berhubungan dengan kemampuan manusia mentransendensikan diri: “transendensi
merupakan kualitas tertinggi dari kehidupan spiritual. Menurut Zohar dan
Marshall transendensi adalah sesuatu yang membawa manusia “mengatasi” (beyond)
– mengatasi masa kini, mengatasi rasa suka dan rasa duka, bahkan mengatasi diri
kita pada saat ini.
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan
seseorang memberi makna pada kehidupan. Menurut Tony Buzan, ciri kecerdasan
spiritual pada seseorang adalah; kerap berbuat baik, menolong, memiliki empati
yang besar, memaafkan, mampu memilih kebahagiaan, memiliki sense of
humor yang baik dan merasa memikul sebuah misi yang mulia.
Ia membawa manusia melampaui batas-batas
pengetahuan dan pengalaman kita., serta menempatkan pengetahuan dan pengalaman
kita kedalam konteks yang lebih luas. Transendensi membawa manusia kepada
kesadaran akan sesuatu yang luar biasa, dan tidak terbatas, baik di dalam
maupun diluar diri kita. SQ adalah fasilitas yang berkembang selama jutaan
tahun yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam
memecahkan persoalan. Utamanya persoalan yang menyangkut masalah eksistensial,
yaitu saat seseorang secara pribadi terpuruk, terjebak oleh kebiasaan,
kekhawatiran dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. Dengan
dimilikinya SQ seseorang mampu mengatasi masalah hidupnya dan berdamai dengan
masalah tersebut. SQ memberi sesuatu rasa yang "dalam" pada diri
seseorang menyangkut perjuangan hidup.
Penelusuran kecerdasan spiritual tampaknya
merupakan jawaban akan keterbatasan kemampuan intelektual (IQ) dan emosional
(EQ) dalam menyelesaikan kasus-kasus yang didasarkan atas krisis makna hidup.
Otak IQ dasar kerjanya adalah berfikir seri, linear, logis dan tidak melibatkan
perasaan. Keunggulan dari berfikir seri ini adalah akurat, tepat dan dapat
dipercaya. Kelemahannya adalah ia hanya bekerja dalam batas-batas yang
ditentukan, dan menjadi tidak berguna jika seseorang ingin menggali wawasan
baru atau berurusan dengan hal-hal yang terduga.
Otak EQ cara kerjanya berfikir asosiatif.
Jenis pemikiran ini membantu seseorang menciptakan asosiasi antarhal, misalnya
antara lapar dan nasi, antara rumah dan kenyamanan, antara ibu dan cinta, dll.
Pada intinya pemikiran inimencoba membuat asosiasi antara satu emosi dan yang
lain, emosi dan gejala tubuh, emosi dan lingkungan sekitar. Kelebihan cara
berfikir asosiatif adalah bahwa ia dapat berinteraksi dengan pengalaman dan
dapat terus berkembang melalui pengalaman atau eksperimen. Ia dapat mempelajari
cara-cara baru melalui pengalaman yang belum pernah dilakukan sebelumnya,
merupakan jenis pemikiran yang dapat mengenali nuansa ambiguitas. Kelemahan
dari otak EQ adalah variasinya sangat individual dan tidak ada dua orang yang
memiliki kehidupan emosional yang sama. Hal ini tampak dari pernyataan
"saya dapat mengenali emosi anda, saya dapat berempati terhadapnya, tetapi
saya tidak dapat memiliki emosi anda".
Otak SQ cara kerjanya berfikir unitif. Yaitu
kemampuan untuk menangkap seluruh konteks yang mengaitkan antar unsur yang
terlibat. Kemampuan untuk menangkap suatu situasi dan melakukan reaksi terhadapnya,
menciptakan pola dan aturan baru.
Kemampuan inimerupakan ciri utama kesadaran,
yaitu kemampuan untuk mengalami dan menggunakan pengalaman tentang makna dan
nilai yang lebih tinggi.
Tanda dari SQ yang berkembang dengan baik
1) Kemampuan bersikap fleksibel (adaptif
secara spontan dan aktif)
2) Tingkat kesadaran diri yang tinggi
3) Kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan
4) Kemampuan untuk menghadapi dan
melampaui rasa sakit
5) Kualitas hidup yang diilhami oleh visi
dan nilai-nilai
6) Keengganan untuk menyebabkan kerugian
yang tidak perlu
7) Kecenderungan untuk melihat
keterkaitan antara berbagai hal (holistik)
8) Kecenderungan nyata untuk bertanya
"mengapa?" atau "bagaimana jika" untuk mencari
jawaban-jawaban mendasar
9) Mandiri
SQ yang berkembang dengan baik dapat
menjadikan seseorang memiliki "makna" dalam hidupnya. Dengan
"makna" hidup ini seseorang akan memiliki kualitas
"menjadi", yaitu suatu modus eksistensi yang dapat membuat seseorang
merasa gembira, menggunakan kemampuannya secara produktif dan dapat menyatu
dengan dunia.
Melatih Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual bisa didapat dengan
mengikuti training, yang didalamnya terdapat pelatihan terdiri:
· Management of anger, peserta
dilatih untuk bersedia memaafkan orang-orang yang sudah menyakiti hati. Jadi
pemberian maaf tidak lagi hanya di bibir tapi sampai ke hati.
· Random act kindness, artinya
menolong orang yang tidak Anda kenal sehingga tidak ada motif tersembunyi.
Pelatihan ini memicu kita hidup bahagia dan mudah menolong orang lain.
· Kesabaran dan kemampuan menemukan misi
hidup, orang yang tahu misi hidupnya akan merasa memikul misi tersebut sehingga
merasa hidup ada tujuannya dan bermakna bagi orang lain. Misi tersebut akan
menjadi guide, cahaya yang menerangi orang itu dalam perjalanan hidupnya.
6. Kecerdasan Emosional
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu
emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel
Goleman (2002 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas,
suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai
contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga
secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis.
Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis
dan berbagai pikiran. Jadi, emosi merupakan salah satu aspek penting dalam
kehidupan manusia, karena emosi dapat merupakan motivator perilaku dalam arti
meningkatkan, tapi juga dapat mengganggu perilaku intensional manusia
(Prawitasari,1995)
Beberapa tokoh mengemukakan tentang
macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas
: Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love
(cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam
emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). Daniel Goleman
(2002 : 411) mengemukakan beberapa macam emosi yang tidak berbeda jauh dengan
kedua tokoh di atas, yaitu:
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
a. Amarah : beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati
b. Kesedihan : pedih, sedih, muram, suram,
melankolis, mengasihi diri, putus asa
c. Rasa takut : cemas, gugup, khawatir,
was-was, perasaan takut sekali, waspada, tidak tenang, ngeri
d. Kenikmatan : bahagia, gembira, riang, puas,
riang, senang, terhibur, bangga
e. Cinta : penerimaan, persahabatan,
kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, kemesraan, kasih
f. Terkejut : terkesiap, terkejut
g. Jengkel : hina, jijik, muak, mual, tidak
suka
h. malu : malu hati, kesal
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa
semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi
berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics
pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup
yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan
kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan;
nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu
dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan
mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 :
xvi).
Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 65) orang
cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka,
yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat
keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional
agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani
menjadi sia-sia.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa emosi adalah suatu perasaan (afek) yang mendorong individu untuk merespon
atau bertingkah laku terhadap stimulus, baik yang berasal dari dalam maupun
dari luar dirinya.
Pengertian kecerdasan emosional
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University
dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan
kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan
emosional atau yang sering disebut EQ sebagai : “himpunan bagian dari
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang
melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan
informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” (Shapiro, 1998:8).
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh
lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu
peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi
dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ
atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik
pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu
dipengaruhi oleh faktor keturunan. (Shapiro, 1998-10).
Sebuah model pelopor lain yentang kecerdasan
emosional diajukan oleh Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel,
yang mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi,
emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tututan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000 :180).
Gardner dalam bukunya yang berjudul Frame Of
Mind (Goleman, 2000 : 50-53) mengatakan bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan
yang monolitik yang penting untuk meraih sukses dalam kehidupan, melainkan ada
spektrum kecerdasan yang lebar dengan tujuh varietas utama yaitu linguistik,
matematika/logika, spasial, kinestetik, musik, interpersonal dan intrapersonal.
Kecerdasan ini dinamakan oleh Gardner sebagai kecerdasan pribadi yang oleh
Daniel Goleman disebut sebagai kecerdasan emosional.
Menurut Gardner, kecerdasan pribadi terdiri
dari :”kecerdasan antar pribadi yaitu kemampuan untuk memahami orang lain, apa
yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu
membahu dengan kecerdasan. Sedangkan kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan
yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri. Kemampuan tersebut adalah
kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri
serta kemampuan untuk menggunakan modal tadi sebagai alat untuk menempuh
kehidupan secara efektif.” (Goleman, 2002 : 52).
Dalam rumusan lain, Gardner menyatakan bahwa
inti kecerdasan antar pribadi itu mencakup “kemampuan untuk membedakan dan
menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi dan hasrat orang
lain.” Dalam kecerdasan antar pribadi yang merupakan kunci menuju pengetahuan
diri, ia mencantumkan “akses menuju perasaan-perasaan diri seseorang dan
kemampuan untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut serta memanfaatkannya
untuk menuntun tingkah laku”. (Goleman, 2002 : 53).
Berdasarkan kecerdasan yang dinyatakan oleh
Gardner tersebut, Salovey (Goleman, 200:57) memilih kecerdasan interpersonal
dan kecerdasan intrapersonal untuk dijadikan sebagai dasar untuk mengungkap
kecerdasan emosional pada diri individu. Menurutnya kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina
hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Menurut Goleman (2002 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its
expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi
diri, empati dan keterampilan sosial.
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri,
mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati)
dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain.
Faktor Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey (2002:58-59)
menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang
kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut
menjadi lima kemampuan utama, yaitu :
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu
kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan
kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya
sendiri. Menurut Mayer (Goleman, 2002 : 64) kesadaran diri adalah waspada
terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada
maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi.
Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah
satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah
menguasai emosi.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu
dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras,
sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang
merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi
berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak
kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk
menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan
dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya
motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan
diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai
perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan
keyakinan diri.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain
disebut juga empati. Menurut Goleman (2002 :57) kemampuan seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang.
Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal
sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain
sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap
perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih
mampu menyesuiakan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah beraul,
dan lebih peka (Goleman, 2002 : 136). Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa
anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan
terus menerus merasa frustasi (Goleman, 2002 : 172). Seseorang yang mampu
membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin
mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya
sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang
lain.
e. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan
suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan
antar pribadi (Goleman, 2002 : 59). Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan
kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta
kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan
membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam
pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang
ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena
kemampuannya berkomunikasi (Goleman, 2002 :59). Ramah tamah, baik hati, hormat
dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu
membina hubungan dengan orang lain. Sejauhmana kepribadian siswa berkembang
dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya.
7. Kecerdasan Intelektual
IQ atau dalam bahasa melayu, dipanggil sebagai
kecerdasan intellectual, di temui pada tahun 1905 oleh Binet di Paris. Manakala
EQ atau kecerdasan emosi ditemui pada tahun 1995 oleh Danie Golman yang ditulis
melalui buku beliau yang bertajuk “Working with Emotional
Intelligence”.Manakala pada tahun 2000 SQ atau kecerdasan spiritual ditemui
oleh VS Ramachandran di universiti California,dengan penemuan beliau fungsi
saraf God Spot. Selepas itu dijumpai oleh Michael persinger yang dikenali
sebagai Binding Problem.
Kecerdasan intelektual (IQ) lazimnya
membolehkan seseorang belajar di universiti atau pun memegang jawatan
profesional. Bagaimanapun, ia bukanlah satu jaminan yang seseorang manusia yang
memiliki IQ yang tinggi akan sejahtera dalam hidup.
Dikemukakan oleh Muhammad Sa’id Mursi dalam
bukunya “Seni Mandidik Anak” tentang IQ (kecerdasan intelektual),
kecerdasan adalah kemampuan untuk mengetahui hubungan antara beberapa benda,
kemampuan untuk menciptakan atau memperbaharui, kemampuan untuk belajar,
berfikir, memahami, menguasai, berkhayal, mengingat dan merasa, kemampuan untuk
memecahkan masalah, mengerjakan tugas dengan berbagai tingkat kesulitan.
Dalam definisi yang lain juga dikatakan bahwa
IQ adalah bakat yang didapat dari keturunan, tapi lingkungan dan kondisi
sekelilingnya juga mempengaruhi peningkatan presentasi kecerdasan sesorang
melalui pengalaman, pengetahuan yang didapat dan pengajaran.
Kemudian dikemukakan pula oleh David Wechsler
tentang IQ yaitu kemampuan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara
rasional dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Menurut Thurstone IQ (kecerdasan intelektuan)
adalah:
· Kemampuan untuk memahami hal-hal ynag
dinyatakan secara verbal atau menggunakan bahasa.
· Kelancaran dan kefasihan menyatakan
buah pikiran dengan menggunakan kata-kata.
· Kemampuan untuk memahami dan memecahkan
masalah-masalah matematis yaitu masalah yang menyangkut dan menggunakan
angka-angka atau bilangan.
· Kemampuan untuk mengingat.
· Kemampuan untuk mengamati dan memberikan
penafsiran atas hasil pengamatan
· Kemampuan berfikir logis.
Dengan demikian, secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa IQ (kecerdasan intelektual) adalah suatu kemampuan mental
yang melibatkan proses berfikir secara rasional. Oleh karena itu, intelegensi
atau IQ tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari
berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berfikir
rasional.
Kecerdasan seseorang berkembang seiring dengan
bertambahnya usia, secara umum anak yang cerdas mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
1) Lebih kuat dalam memperhatikan dan
lebih cepat memahami sesuatu dibandingkan dengan yang lain
2) Lebih cepat belajar menerima pemikiran
dan informasi Lebih mampu mengetahui hubungan antara beberapa hal, jumlah
dan kalimat
3) Lebih mampu menciptakan sesuatu,
merancang rencana dan cara untuk mencapai tujuan
4) Lebih cepat beradaptasi dengan sitiasi
baru
5) Percaya diri.
Carl Witherington mengemukakan enam ciri dari
perbuatan yang cerdas yaitu:
1) Memiliki kemampuan yang cepat dalam
bekerja dengan bilangan
2) Efisien dalam berbahasa
3) Kemampuan mengamati dan menarik
kesimpulan dari hasil pengamatan yang cukup cepat
4) Kemampuan mengingat yang cukup cepat
dan tahan lama
5) Cepat dalam memahami hubungan
6) Memiliki daya khayal atau imajinasi
yang tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan beberapa
ciri dari prilaku cerdas atau prilaku individu yang memiliki kecerdasan tinggi
adalah sebagai berikut:
1) Memiliki daya adaptasi yang tinggi
artinya prilaku cerdas cepat membaca dan menyesuaikan diri dengan lingkungan,
tidak banyak mengeluh dan merasakan hambatan dari lingkungan
2) Prilaku cerdas berorientasi kepada
keberhasilan artinya tidak takut gagal dan selalu optimis
3) Sikap jasmaniah yang baik artinya
seorang siswa yang intelegen ketika pelajaran berlangsung duduk dengan baik,
menempatkan bahan yang dipelajari dengan baik, memegang alat tulis dengan baik,
tidak belajar sambil tiduran, sambil tengkurap, dll
4) Mempunyai motivasi yang tinggi.
Macam-Macam Kecerdasan
Menurut Gardner ada tujuh macam kecerdasan
yang dimiliki manusia, antara lain:
a. Kinestetik
Kecerdasan kinestik disebut juga body
smart. Kecerdasan ini melibatkan koordinasi bahasa badan, yang memproses
pengetahuan melalui indra tubuh. Jadi, kecerdasan kinestik merupakan kecakapan
melakukan gerakan dan keterampilan kecekatan fisik seperti dalam olah raga,
atletik, menari, kerajinan tangan, bedah, dll. Orang-orang yang memiliki
kecerdasan kinestetik yang tinggi adalah para olah ragawan, penari, pecinta tari,
pengrajin profesional, dokter bedah, dll.
b. Bahasa
Kecerdasan bahasa disebut juga word
smart. Kecerdasan ini dapat dilihat dari kemampuan menggunakan bahasa yang
efektif. Jadi, kecerdasan bahasa berkaitan dengan kemampuan berbicara,
mendengarkan, membaca, dan menulis.
Dalam kecerdasan ini terdapat cakupan yang
didalamnya terdapat kemampuan dalam ejaan, kosa kata, dan tata bahasa.
Kecerdasan bahasa pada umumnya dimiliki oleh seorang pembaca naskah berita,
para penulis, ahli bahasa, sastrawan, jurnalis, orator, penyiar, mereka adalah
orang-orang yang memilki kecerdasan linguistik (bahasa) yang tinggi.
c. Musical
Kecakapan untuk menghasilkan dan menghargai
musik, sensitivitas terhadap melodi, ritme, nada, tangga nada, menghargai
bentuk-bentuk ekspresi musik. Kecerdasan ini melibatkan kemampuan menyanyikan
lagu, menghafal melodi musik, mempunyai kepekaan akan irama, atau sekedar
menikmati musik.
Anak-anak yang memiliki kecerdasan musikal
biasanya bercita-cita menjadi musisi, dirigen, pembuat instrumen musik,
penyanyi, pengamat musik, dll.
d. Visual-Spasial
Kecerdasan ini disebut juga picture
smart. Yaitu merupakan kecakapan berfikir dalam ruang tiga dimensi. Seorang
yang memiliki intelegensi visual-ruang yang tinggi sepert pilot, nahkoda,
astronot, pelukis, arsitek, perancang, dll. Yang mana mereka mampu menangkap
bayangan ruang internal dan eksternal, untuk penentuan arah dirinya atau benda
yang dikendalikan, atau mengubah, mengkresi, dan menciptakan karya-karya tiga
dimensi nyata.
e. Logika Matematika
Kecerdasan ini disebut juga number
smart. Anak yang menonjol dalam kecerdasan ini memiliki keterampilan untuk
mengolah angka-angka dan mahir dalam menggunakan logika atau akal sehat.
Kecerdasan ini dimiliki oleh para ilmuan, ahli matematis, akuntan, insinyur, pemogram
komputer.
f. Interpersonal (Kecerdasan Hubungan Sosial)
Kecerdasan ini disebut juga people
smart yaitu kecakapan memahami dan merespon serta berinteraksi dengan
orang lain dengan tepat, watak, temperamen, motivasi, dan kecenderungan
terhadap orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan hubungan sosial diantaranya
guru, konselor, pekerja sosial, aktor, pemimpin masyarakat, politikus, dll.
g. Intrapersonal
Kecerdasan ini disebut juga self
smart yaitu kecakapan memahami kehidupan emosional, membedakan emosi
orang-orang, pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan diri. Kecakapan
membentuk persepsi yang tepat terhadap orang, menggunakannya dalam merencanakan
dan mengarahkan orang lain; agamawan, psikolog, psikiater, filosof, adalah
mereka yang memiliki kecerdasan pribadi yang tinggi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi IQ
a. Faktor Bawaan Atau Keturunan
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa
faktor genetik dapat mempengaruhi taraf intelegensi seseorang. Artinya, jika
kedua orang tua memiliki intelegensi, besar kemungkianan anaknya memiliki
intelegensi tinggi pula. Akan tetapi hal inipun tidak terjadi demikian.
Adakalanya kedua orang tua memiliki taraf intelegensi tinggi mempunyai anak
dengan taraf intelegensi pada tingkat rata-rata atau bahkan dibawah rata-rata.
Sebagian pakar berpendapat bahwa pengaruh
orang tua yang sedemikian besar terhadap perkembangan intelegensi anak adalah
lebih disebabkan oleh upaya orang tua itu sendiri dalam memberdayakan
anak-anaknya.
Dr. Bernard Devlin dari fakultas kedokteran
universitas Pittsburg, AS, memperkirakan faktor genetika memiliki peranan
sebesar 48 % bentuk IQ anak, sedangkan sisanya adalah faktor lingkungan,
termasuk ketika anak masih dalam kandungan.
Untuk menjelaskan peran genetika dalam
pembentukan IQ anak, seorang pakar lain dibidang genetika dan psikologi dari
universitas Minesito, AS, bernama Matt Mc Gee mencontohkan pada keluarga
kerajaan yang memiliki gen elit, keturunannya belum tentu memiliki gen elit.
Matt Mc Gee mengatakan keluarga bangsawan yang
memiliki IQ tinggi umumnya hanya sampai generasi kedua atau ketiga. Generasi
berikutnya belum diketahui secara pasti, karena mungkin saja hilang. Meski
dapat muncul lagi pada generasi kedelapan atau berikutnya. Jadi orang tua yang
memiliki IQ tinggi bukan jaminan dapat menghasilkan anak ber IQ tinggi pula.
Jadi, hal tersebut diatas menunjukkan bahwa
faktor genetic bukan satu-satunya faktor penentu tingkat kecerdasan anak.
b. Faktor Lingkungan
Pengembangan potensi anak mencapai aktualisasi
optimal bukan hanya dipengaruhi faktor bakat, melainkan faktor lingkungan yang
membimbing dan membentuk perkembangan anak. Faktor lingkungan dalam banyak hal
justru memberi andil besar dalam kecerdasan anak. Yang dimaksud tidak lain
adalah upaya memberi ‘iklim’ tumbuh kembang sebaik mungkin agar kecerdasan
dapat berkembang optimal. Seperti yang dikemukakan oleh Conny Semiawan dalam
bukunya yang berjudul ”Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Pendidikan Usia
Dini”bahwa: “Seseorang secara genetis telah lahir dengan suatu
organisme yang disebut intelegensi yang bersumber dari otaknya, kalau struktur
otak sudah ditentukan oleh biologis, berfungsinya otak tersebut sangat
dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya.”
Para pakar yakin faktor lingkungan benar-benar
dapat mempengaruhi kecerdasan anak, hal ini terbukti dengan Helen dan Glady
sepasang bayi kembar, bisa menjadi salah satu buktinya. Pada usia 18 bulan
mereka dirawat secara terpisah. Helen hidup dan dibesarkan dalam satu keluarga
bahagia dengan keluarga yang hidup dan dinamis, sedangkan Glady dibesarkan di
daerah gersang dalam lingkungan ‘miskin’ rangsangan. Ternyata saat dilakukan
pengukuran Helen memiliki angka IQ 116 dan berhasil meraih gelar sarjana dalam
bidang bahasa inggris. Sedangkan Glady terpaksa putus sekolah lantaran sakit-sakitan
dan IQ-nya 7 angka dibawah saudaranya.
8. Kecerdasan Adversity
Konsep tentang
kecerdasan adversity atau adversity intelligence (AI)
dibangun berdasarkan hasil studi empirik yang dilakukan oleh banyak ilmuwan
serta lebih dari lima ratus kajian di seluruh dunia, dengan memanfaatkan tiga
disiplin ilmu pengetahuan, yaitu psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan
neurofisiologi. Kecerdasan adversitymemasukkan dua komponen penting
dari setiap konsep praktis, yaitu teori ilmiah dan aplikasinya dalam dunia
nyata. Konsep kecerdasan adversitypertama kali digagas oleh Paul G.
Stoltz (Jaffar, 2003).
Menurut Stoltz
(2005), pengertian kecerdasan adversity tertuang ke dalam tiga
bentuk, yaitu: pertama, kecerdasan adversity sebagai
suatu kerangka kerja konseptual yang baru yang digunakan untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, kecerdasan adversitysebagai
suatu ukuran untuk mengetahui reaksi seseorang terhadap kesulitan yang
dihadapinya. Ketiga, kecerdasan adversity sebagai
seperangkat peralatan yang memiliki landasan ilmiah untuk merekonstruksi reaksi
terhadap kesulitan hidup. Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz (Kusuma,
2004) berpendapat bahwa kombinasi dari ketiga unsur tersebut yaitu pengetahuan
baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang
lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar dalam meraih sukses.
Berbeda dengan
Stoltz, Mortel (Kusuma, 2004) berpandangan bahwa makin besar harapan seseorang
terhadap dirinya sendiri, maka makin kuat pula tekadnya untuk meraih kesuksesan
dan keberhasilan dalam hidup. Maxwell (Kusuma, 2004) mengatakan bahwa ketekunan
yang dimiliki oleh seseorang akan memberinya daya tahan. Daya tahan tersebut
akan membuka kesempatan baginya untuk meraih kesuksesan dalam hidup.
Secara garis
besar konsep kecerdasan adversity menawarkan beberapa manfaat
yang dapat diperoleh, yaitu:
1) kecerdasan adversity merupakan indikasi atau petunjuk
tentang seberapa tabah seseorang dalam menghadapi sebuah kemalangan
2) kecerdasan adversity memperkirakan tentang seberapa besar
kapabilitas seseorang dalam menghadapi setiap kesulitan hidup dan
ketidakmampuannya dalam menghadapi kesulitan
3) kecerdasan adversity memperkirakan siapa yang dapat
melampaui harapan, kinerja, serta potensinya, dan siapa yang tidak
4) kecerdasan adversity dapat memperkirakan siapa yang putus
asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang akan bertahan (Stoltz, 2005).
Stoltz (2005)
menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus
berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh
motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi,
dipandang sebagai figur yang memiliki kecerdasan adversity yang
tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir,
pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat
dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversityyang
rendah. Werner (Stoltz, 2005), dengan didasarkan pada hasil penelitiannya
mengemukakan bahwa anak yang ulet adalah seorang perencana, orang yang mampu
menyelesaikan masalahnya dan orang yang mampu memanfaatkan peluang. Orang yang
mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan mampu memandang kekeliruan atau
pengalaman negatifnya sebagai bagian dari hidupnya, belajar darinya dan
kemudian maju terus.
Menurut Maxwell
(Kusuma, 2004) setidaknya ada tujuh kapasitas yang dibutuhkan untuk mengubah
kegagalan menjadi batu loncatan, yaitu
1) para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak pernah jemu untuk terus
mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
2) para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sesuatu yang nisbi
sifatnya
3) para peraih prestasi memandang kegagalan-kegagalan sebagai insiden-insiden
tersendiri
4) para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistis
5) para
peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
6) para
peraih prestasi menggunakan multi pendekatan dalam meraih prestasi
7) para
peraih prestasi mudah bangkit kembali.
Stoltz (2005)
mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi
suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil
risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga
bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka
yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan .
Pannyavaro (2006)
menyatakan bahwa kesulitan hidup jika dihadapi, disadari, akan menjadi sesuatu
yang biasa saja. Karena sejatinya kesulitan merupakan sebuah perubahan,
perubahan dari sesuatu yang menyenangkan, membahagiakan, menjadi sesuatu yang
tidak menyenangkan, itu pulalah yang dinamakan sebagai penderitaan. Padahal
jika dilihat, sebenarnya hal tersebut hanyalah sebuah proses perubahan semata.
Mortel (Kusuma,
2004) mengemukakan bahwa kegagalan adalah suatu proses yang perlu dihargai.
Mortel juga berpendapat bahwa kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan
menghantar seseorang untuk mencoba berusaha lagi dengan pendekatan yang berbeda.
Menurut Lasmono (Jaffar, 2003), untuk menciptakan perubahan dalam hidup
seseorang harus bertekad untuk terus mendaki melawan rintangan. Untuk itu
individu harus mampu mengembangkan kecerdasan adversity yang
tinggi dan mengenali tiga tahap adversity yang disusun dengan
model piramid mulai dari dasar sebagai berikut:
1) Societal
Adversity: Ketidakjelasan tentang masa depan, kecemasan tentang
keamanan ekonomi, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, bencana
alam, serta krisis moral.
2) Workplace
Adversity: Peningkatan ketajaman terhadap pekerjaan, pengangguran dan
ketidakjelasan mengenai apa yang akan dihadapi.
3) Individual Adversity: Individu
dapat memulai perubahan dan pengendalian.
Kecerdasan adversity terdiri
atas empat komponen yang tercakup dalam akronim CO2RE. Komponen-komponen CO2RE
ini akan menentukan kecerdasan adversity individu secara
menyeluruh (Stoltz, 2005). Komponen- komponen CO2RE
tersebut adalah:
Control (C)
Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali,
atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa
yang menghadirkan kesulitan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir
tidak mungkin untuk diukur. Kendali berkorelasi langsung dengan pemberdayaan
dan pengaruh, serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Tanpa adanya
kendali terhadap kesulitan, harapan dan tindakan akan hancur. Sebaliknya dengan
adanya kendali terhadap kesulitan, maka hidup akan dapat diubah dan
tujuan-tujuan yang in gin dicapai akan terwujud. Kendali diawali dengan
pemahaman bahwa sesuatu—apapun itu—dapat dilakukan.
Origin (O)
Origin atau
asal usul, mempertanyakan apa yang menjadi asal usul dari sebuah kesulitan.
Orang yang kecerdasan adversity-nya rendah cenderung akan memiliki
rasa bersalah yang berlebihan atau tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa
buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam hal ini, sebagian orang menganggap
dirinya adalah satu-satunya sumber atau asal usul (origin) terjadinya
kesulitan tersebut. Menurut Reynolds (2005), bagian paling penting untuk
menghadapi bayangan diri seseorang—klaim atas diri sebagai asal usul terjadinya
sebuah kesulitan—adalah dengan memaafkan dan tidak menghakimi. Karena
sesungguhnya, dengan sumber daya yang terbatas, seseorang akan senantiasa
melakukan apa yang diyakininya terbaik untuk mencapai suatu kebahagiaan. Pada
dasarnya rasa bersalah memiliki dua fungsi;pertama, rasa itu dapat
membantu seseorang untuk belajar dan melakukan perbaikan agar nantinya keadaan
menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kedua, rasa bersalah yang mengarah pada suatu penyesalan. Penyesalan
merupakan suatu motivator yang sangat kuat, hanya bila ia ditempatkan pada
porsi atau takaran yang sewajarnya, tidak berlebihan.
Ownership (OW)
Ownership atau
pengakuan, yaitu sejauh mana seseorang mau mengakui akibat-akibat dari suatu
kesulitan atau kegagalan yang terjadi. Komponen ini berkaitan erat dengan
komponen origin, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi
tingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat
pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang
dihadapinya. Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat ownership yang
rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain yang ada di
sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat
yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri.
Reach (R)
Reach atau
jangkauan merupakan komponen untuk mengetahui sejauh mana kesulitan
akan menjangkau ranah-ranah yang lain dalam kehidupan individu. Individu yang
memiliki respon reach yang rendah dalam menghadapi segala
sesuatu hanya akan membuat kesulitan bagi dirinya, dan pada gilirannya nanti
akan mempengaruhi wilayah-wilayah yang lain dalam kehidupannya, sehingga akan
menghambat kinerjanya serta menimbulkan penilaian diri yang negatif.
Endurance (E)
Endurance atau daya tahan, merupakan komponen
pemuncak dalam komposisi kecerdasan adversity. Komponen
ini mempertanyakan tentang berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa
lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E seseorang,
semakin besar kemungkinan ia akan menganggap kesulitan akan berlangsung lama.
Sebaliknya, semakin tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan
seseorang menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu
singkat atau sementara.
Perjalanan hidup orang sukses dan orang gagal
sama, yakni: menghadapi dan mengalami berbagai kesulitan hidup, adapun
perbedaannya terletak pada kecerdasan menghadapi dan merespons kesulitan hidup
yang dijalaninya. Artinya orang sukses lebih cerdas dari pada orang gagal dalam
menghadapi kesulitan hidupnya. Paul G Stolt dalam dua bukunya berjudul;
"Adversity Quotient (2000)" dan "Adversity Quotient a Work
(2003)" secara komprehensif menjelaskan apa yang dimaksud kecerdasan
menghadapi kesulitan dan bagaimana meningkatkan kecerdasan baru tersebut.
Kecerdasan baru dimaksud berawal dari hasil penelitian yang dilakukan para
ilmuan kelas atas selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500 referensi dari tiga
cabang ilmu pengetahuan, yakni psikologi kognitif, psikoneuroimunologi, dan
neurofisiologi, dan menerapkan hasil penelitian dan pengkajiannya selama 10
tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan bahwa terdapat
satu kecerdasan baru yang selama ini tidak terungkap dibutuhkan dan menentukan
kesuksesan seseorang, yakni kecerdasan menghadapi kesulitan (Adversity
Quotient).
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh
Thomas J Stanley (2003) yang kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul;
"The Millionaire Mind" menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang
berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik
biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh
dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar
terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri mempunyai tiga bentuk,
yakni; (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran untuk mengetahui respons
terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah
untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
Ketika menghadapi kesulitan hidup, manusia
dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni; Quitters atau manusia yang berhenti,
Campers atau manusia yang berkemah, dan Climbers atau manusia yang pendaki.
Manusia quitter adalah manusia yang sulit dan tidak senang melakukan perubahan,
sering orang menyebutnya sebagai manusia pengecut. Manusia camper adalah
manusia yang mau melakukan perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan
saja dengan sangat mudah patah semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang
berkemah, bahkan mereka menikmati jeda waktu istirahat tersebut untuk
bersuka-ria, bersantai dan tidak berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang
mereka hadapi. Manusia climber adalah manusia pendaki yang tidak mudah lekang
karena panas dan tidak mudah lapuk karena hujan. Sebagai manusia pendaki jika
ia menemukan ada hambatan batu di atas gunung sana, ia mencari jalan lain.
Baginya untuk sampai ke puncak gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan
kita pada apa yang pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell bahwa;
"kalau satu pintu tertutup, lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang
terlalu lama dan terlalu penuh penyesalan kepada pintu yang tertutup itu,
sehingga kita tidak melihat pintu yang terbuka bagi kita".
John Gray (2001) mengatakan "semua
kesulitan sesungguhnya merupakan kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh".
Adapun dimensi yang terkait dengan kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1)
control atau kendali mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan
terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership
mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan,
dan sampai sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach
atau jangkauan mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau
merembes ke bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau
daya tahan mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung
dan lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?
Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat
ditingkatkan atau dapat diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut;
(1) listen atau dengarkanlah respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau
jajaki asal usul dan pengakuan atas akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan
(4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen (2000) mengatakan bahwa; "90%
pemahaman belajar diperoleh dari melakukan sesuatu. Konfusius lebih dari 2400
tahun silam menyatakan, bahwa; "yang saya dengar saya lupa, yang saya
lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya paham." Namun sayangnya
praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang dilakukan oleh orang tua, guru
dan masyarakat belum sampai pada proses pembelajaran yang mengajarkan kepada
anak dan siswanya bagaimana menghadapi kesulitan (adversity quotient).
C. KESIMPULAN
Kecerdasan sebagai kemampuan untuk memproses
informasi sehingga masalah-masalah yang kita hadapi dapat dipecahkan (problem
solved) dan dengan demikian pengetahuan pun bertambah. Jadi mudah dipahami
bahwa kecerdasan adalah pemandu bagi kita untuk mencapai sasaran-sasaran kita
secara efektif dan efisien. Kecerdasan merupakan suatu kemampuan untuk memahami
informasi yang membentuk pengetahuan dan kesadaran. Tingkat kecerdasan
(Intelegensi) ditentukan oleh bakat bawaan berdasarkan gen yang diturunkan dari
orang tuanya. Secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Kemampuan untuk berpikir abstrak. 2. Kemampuan untuk menangkap
hubungan-hubungan dan untuk belajar 3. Kemampuan untuk menyesuaikan diri
terhadap situasi-situasi baru. Ciri-ciri keberbakatan seseorang adalah,
kemampuan di atas rata-rata, kreativitas, pengikatan diri. Anak berbakat adalah
mereka yang karena memiliki kemampuan yang unggul dan mampu memberikan prestasi
yang tinggi. Bakat-bakat tersebut baik sebagai potensi maupun yang sudah
terwujud meliputi :kemampuan intelektual umum, kemampuan berpikir
kreatif-produktif, kemampuan dalam salah satu bidang seni, kemampuan
psikomotor, kemampuan psikososial. Mengembangkan kecerdasan majemuk anak
merupakan kunci utama untuk kesuksesan masa depan anak. Peran orang tua dalam
memberikan latihan-latihan dan lingkungan yang mendukung jauh lebih penting
dalam menentukan perkembangan kecerdasan seorang anak.
Kecerdasan Spiritual (SQ) Adalah kemampuan
untuk memahami makna (meaning) dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta
tujuan (vision) fundamental kehidupan. SQ menjawab ertanyaan paling mendasar :
”siapa saya?”, ”untuk apa saya dilahirkan?”, dan ”mau kemana saya?”.
SQ memiliki kemampuan untuk mengatur diri
(self organizing) dan memberikan kemampuan bawaan untuk membedakan antara yang
benar dan yang salah. SQ adalah perekat yang menghubungkan semua manusia secara
universal.
Kecerdasan Emosi (EQ) : Adalah kemampuan untuk
memahami dan ikut merasakan apa yang dialami diri sendiri, orang lain dan
kemampuan untuk membaca emosi orang lain atau situasi sosial tempat kita berada
dan menanggapinya dengan tepat. Singkatnya EQ adalah kemampuan kita merasa,
disamping ketahanan mental.
Kecerdasan Intelektual (IQ) : Adalah kemampuan
numerikal (berhitung), spasial (ruang), dan linguistic (bahasa).
Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ) : Adalah
cara kita menggunakan makna, nilai, tujuan, dan motivasi spiritual dalam proses
berpikir kita (IQ) dan proses merasa kita (EQ) dalam membuat keputusan serta
dalam berpikir atau melakukan sesuatu.
Kecerdasan Adversity (AQ) adalah
kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama,
AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk
mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian
peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
D. CONTOH KASUS
Contoh Pertama
Kejadian ini terjadi di Airport Soekarno
Hatta, pada saat itu pesawat terakhir akan berangkat dengan jalur penerbangan
ke Luar Negeri, namun tiba-tiba diumumkan bahwa pesawat ditunda
keberangkatannya karena ada kerusakan mesin. Semua penumpang mengeluh dengan
nafas panjang, Arghh…… hanya itu yang bisa mereka lakukan dan mereka tunggu 1
jam, tiba-tiba petugas di Airport mengatakan lagi bahwa pesawat yang akan
mereka tumpangi bukan saja ditunda keberangkatannya tetapi gagal berangkat
malam ini dan akan berangkat esok pagi. Diantara penumpang tersebut banyak
Pejabat, banyak Bisnisman, dimana besok adalah pertemuan penting yang justru
tidak bisa ditunda-tunda.
Banyak sekali yang marah dan salah seorang
dari Pejabat marah, ia katakan "Anda tahu siapa saya… anda tahu.. pimpinan
andapun bias saya geser dari perusahaan ini, kerugian yang akan saya alamin ini
akan merugikan ratusan milyar rupiah dan perusahaan anda akan kami tuntut. Lalu
ia menunjukkan Kontrak kerjanya, MOU dan macam-macam surat pentingnya, ia
sangat marah sekali. Tentu saja petugas airport ini mengalami Stress yang
sangat luar biasa sekali, ia ketakutan, badanya gemetar. Akhirnya mau tidak mau
para penumpang tadi di inapkan di Transit Hotel sebelah bandara Soekarno Hatta.
Namun ada satu orang yang berusia setengah
baya, ia datang degnan tersenyum, sungguh luar biasa. Petugas Airport tersebut
bingung "loh.. kog bapak tersenyum dan mengatakan ini luar biasa sekali
sedang yang lain marah-marah" orang setengah baya ini menjawab dengan
tersenyum "Bayangkan jika pesawat ini tetap diberangkatkan, berapa korban
jiwa yang akan terjadi, karena bisa saja pesawat ini akan mengalami kerusakan
mesin di atas udara" atau pesawat ini akan jatuh seperti yang terjadi
baru-baru ini di Medan" saya kira ini adalah hal yang wajar dan baisa.
"Bapak tidak marah ?" petugas airport itu bertanya "Saya
sebenarnya ingin marah, tapi untuk apa saya marah, ini memang suatu kenyataan
dan saya juga punya urusan bisnis yang sangat besar, dan mengalami kerugian
yang cukup besar bila ditunda, tapi mau dibilang apa, saya harus ikhlas, karena
ini sudah kenyataan yang dialami. Petugas airport itu hanya diam tertunduk, ia
heran melihat orang yang sangat bijaksana. Orang setengah baya ini kemudian
berkata "Saya tahu disitu banyak pesawat, saya tahu di hotel itu banyak
orang yang marah karena berfikiran mengapa banyak pesawat yang nangkring,
mengapa pesawat itu tidak segera diberangkatkan". Tapi saya tahu ini
adalah keputusan-Nya dan ini adalah kenyataan, ya sudah saya inkhlas kita
berdoa saja semoga Bisnis saya bisa berhasil dan besok pagi pesawat itu sudah
baik dan bisa berangkat. Selamat malam…
Sebelum berangkat menuju hotel orang setengah
baya itu dipanggil oleh petugas Airport "Mari kesini sebentar pak"
orang setengah baya itu belakangan berangkat menuju hotel tempat menginap.
"Kenapa ?"
Sebenarnya masih ada informasi yang sangat
penting, ada satu sheet kosong ke negara yang sama, hanya akan terlambat
beberapa jam karena harus memutar lebih kurang 200 - 300 mil dan akan tiba
tengah malam nanti, kalau bapak mau silahkan bapak masuk ke ruang tunggu
disebelah sana.
Akhirnya Orang setengah baya itu pergi dan
kemudian ia berangkat ke negara tujuannya dan bisnisnya berjalan dengan lancar
sedangkan Pejabat yang marah-marah tadi setiap ada pelayan yang mengantarkan
makanan kepadanya dimarahi dan diceramahi.
Mari kita lihat Hikmah apa yang bisa diambil
dari kisah ini. Ini semua menunjukkan bahwa semua Kemampuan Mengendalikan Emosi
membuat bisnis jauh lebih sukses. Kembali permasalah ini bukan lagi soal
Kecerdasan Intelektual (IQ) tapi Kecerdasan Emosional (EQ).
Jadi Kecerdasan Emosional (EQ) adalah
kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri agar ia
tetap bisa mengambil keputusan dengan tenang.
Contoh kedua
Mungkin kita masih ingat dulu, sekitar 20
tahun yang lalu ketika kita naik kereta api jurusan Jakarta - Surabaya atau
mungkin Jakarta - Bandung. Kalau kita haus saat itu kita bingung sekali dimana
kita akan minum, pasti kita akan melihat di stasiun kereta api atau di dalam
gerbong kereta api orang-orang yang mengangkat minuman kemudian mengatakan
"Teh-teh… Kopi-kopi.." semua orang menjual teh dan kopi, sehingga
kalau kita ingin meminum air putih tentu akan merasakan kesulitan karena tak ada
orang yang menjual air putih saja, karena air putih saat itu gratis tapi dengan
catatan harus minum di warung dan diwarung tentu saja harus makan terlebih
dahulu, baik makan nasi atau makan gorengan lainya baru diberikan air minum
gratis di dalam teko. Dan itu terjadi Bertahun-tahun di Indonesia mungkin di
Negara-negara luar saat itu.
Disaat itu ada seorang yang mampu merasakan
perasaan kesulitan tersebut, ia mampu melihat kesulitan itu, betapa sulitnya
jika orang dalam perjalanan dalam keadaan haus. Kemudian ia masukkan air putih
itu kedalam sebuah botol dan kemudian air minum dalam botol itu dijual. Anda
tahu harganya..? harganya lebih mahal dari pada harga bensin saat itu.
Kita tentu tahu saat ini, bukan lagi puluhan, ratusan bahkan kini Ribuan perusahaan yang menjual air mineral dalam bentuk botol ini.
Kita tentu tahu saat ini, bukan lagi puluhan, ratusan bahkan kini Ribuan perusahaan yang menjual air mineral dalam bentuk botol ini.
Kesimpulannya " Inilah yang disebut
Kreatifitas, keberanian mengambil Resiko, ini menyangkut tentang Komitmen,
Tanggung jawab, Visi, Kemampuan merasakan, Kemampuan membaca situasi,
inisiatif, Sensitif, Merasakan & Melihat dengan mata hati.
Bagaimana semua ini bisa diatasi, ini adalah
kembali contoh KECERDASAN EMOSIONAL (EQ). Kecerdasan Emosional menunjukkan
bukti bahwa ia begitu berperan penting didalam keberhasilan kehidupan.
Yang menjadi pertanyaan kita sekarang "bagaimana
dengan Sistem Pendidikan kita di Indonesia sekarang…? Kecerdasan Emosional..
apakah diajarkan di SD, SMP, SMA atau bahkan di Bangku kuliah, yang diajarkan
umumnya adalah hanya Intelektualitas. IQ nya harus 100 dengan IP 4.00.
Sekarang mari kita lihat kenyataanya, masih
ingatkah kita dengan teman-teman yang menjadi bintang-bintang kelas waktu di
SMP, SMA atau di Kuliah dulu, apakah mereka menjadi orang-orang yang sukses
diatas rata-rata ? atau bahkan mereka kini menjadi orang yang biasa ? atau bahkan
banyak yang gagal.
Hal ini diselidiki disebuah lembaga, yang
mendirikan data Bank raksasa yang diberi nama Emotion Quotient Inventory (EQI )
yaitu sebuah lembaga yang mengumpulkan data-data orang-orang yang sukses dimuka
Bumi. Hasilnya sungguh tak terbantahkan dan tidak bisa lagi dipungkiri,
dikatakan bahwa Kecerdasan Intelektual (IQ) itu rata-rata hanya 6 % yang
membawa keberhasilan bahkan Maksimum hanya 20 %.
Kecerdasan Intelektual
Hanya berperan 6 %
Dan Maksimal 20 %
Dalam meraih keberhasilan
Hanya berperan 6 %
Dan Maksimal 20 %
Dalam meraih keberhasilan
Lantas bagaimana dengan kemampuan Intelektual
dan Emosional kita sementara ini, mana yang lebih kita tekankan pada anak-anak
kita. Anak-anak kita yang selama ini kita dorong supaya mendapatkan rangking
yang tinggi, IP yang tinggi, selama ini anak-anak kita dorong agar memiliki
Intelektualitas (IQ) tinggi namun mari kita lihat ternyata keberhasilan itu
tidak ditentukan hanya oleh Intelektualitas (IQ) semata.
Contoh ketiga
Seorang mahasiswa (A) tahap akhir yang
berkonsultasi dengan pembimbingnya, kesal, pasalnya, pekerjaannya dirobek oleh
dosen, dan kelanjutan dari hal itu, mahasiswa tadi mengambil keputusan untuk
tidak menyelesaikan kuliahnya sekalipun ia sudah berada pada tahap akhir
perkuliahan. Peristiwa ini tentu saja tidak membawa kebahagiaan dan tidak memenuhi
harapan murid dan juga pihak-pihak lain. Mahasiswa yang lain lagi (B) tidak
lulus dalam suatu mata kuliah sekalipun semua kriteria kelulusan yang
ditawarkan oleh dosen sudah dipenuhi, kecuali kriteria suka dan tidak suka yang
belum dipenuhi. Namun kemudian dengan tekun mengulangi pada semester
berikutnya, dan hasilnya sangat memuaskan, luar biasa, dia lulus dengan nilai
A. Hal ini membawa sukacita bagi diri sendiri dan juga bagi orang lain.
Peristiwa di atas hanya fiktif belaka, namun dalam kehidupan sehari-hari
khususnya kaum muda sering kita jumpai peristiwa tersebut.
Dari kedua peristiwa fiktif di atas, muncul
pertanyaan mengapa mahasiswa A langsung mengambil keputusan untuk segera
berhenti kuliah, sementara si B yang juga telah berusaha dengan penuh tanggung
jawab memenuhi seluruh kriteria yang minta, namun tetap gagal, dan mau
mengikuti kuliah pada semester berikutnya?
Jawaban singkat yang dapat diberikan adalah
karena mahasiswa A mempunyai kecerdasan ketahanmalangan (AQ) lebih dangkal
dibandingkan dengan mahasiswa B.
E. SOAL-SOAL
I. Pilihlah jawaban yang paling benar!
1. Berikut adalah sikap yang harus
dimiliki wirausaha, kecuali:
a. Percaya Diri c. Berorientasi pada
tugas dan hasil
b. Kepemimpinan d.Pemalu*
2. Disebut apakah suatu aksi-reaksi organisme
terhadap lingkungannya. Perilaku baru terjadi apabila ada sesuatu yang
diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut rangsangan?
a.Perilaku* c. Sifat
b.Karakter d.Kepribadian
3. kecerdasan untuk menempatkan perilaku
dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya adalah
a.IQ b.SQ* c.EQ d.AQ
4. himpunan bagian dari kecerdasan sosial
yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan
pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan
a.IQ b.SQ c.EQ* d.AQ
5. kecerdasan adversity pertama kali digagas oleh....
a.Paulz G
Stoltz c.Crishtoper Columbus
b.Matt Mc
Gee d.Zimmerer
II. Soal Benar atau Salah
1.
|
B - S
|
IQ di temui pada tahun 1905 oleh Binet di Paris.
|
2.
|
B - S
|
Kecerdasan linguistik disebut juga body
smart.
|
3.
|
B - S
|
Faktor Bawaan Atau Keturunan dapat
mempengaruhi SQ.
|
4.
|
B - S
|
kecerdasan Emosi dapat
memperkirakan siapa yang putus asa dalam menghadapi kesulitan dan siapa yang
akan bertahan.
|
5.
|
B - S
|
Kecerdasan adversity terdiri
atas empat komponen yang tercakup dalam akronim CO2RE..
|
III. Jodohkanlah pernyataan di kolom
sebelah kiri dengan kolom sebelah kanan!
1. Manusia climber.
|
a. manusia pendaki yang tidak mudah lekang
karena panas dan tidak mudah lapuk karena hujan.
|
2. Manusia camper.
|
b. manusia yang sulit dan tidak senang
melakukan perubahan, sering orang menyebutnya sebagai manusia pengecut.
|
3. Kecerdasan Spiritual (SQ).
|
c. kemampuan numerikal (berhitung), spasial
(ruang), dan linguistic (bahasa).
|
4. Kecerdasan Intelektual (IQ)
|
d. kemampuan untuk memahami makna (meaning)
dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta tujuan (vision) fundamental
kehidupan.
|
5. Manusia quitter.
|
e. manusia yang mau melakukan perubahan,
tetapi jika menghadapi satu kesulitan saja dengan sangat mudah patah semangat
dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah,
|
IV. Jawablah pertanyaan-pertanyaan
dibawah ini!
1. Apa yang di maksud dengan kecerdasan
intelektual?
2. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan
Emosional?
3. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan
Adversity?
4. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan
Spiritual?
5. Apa yang dimaksud dengan kecerdasan?
V. Uraian.
1. Apa yang anda ketahui tentang:
a. Tiga bentuk kecerdasan adversity.
b. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kecerdasan adversity.
2. Jelaskan mengenai:
a.dimensi yang terkait dengan kecerdasan
adversity menurut john gray.
b.empat komponen kecerdasan adversity
3. Goleman mengutip Salovey (2002:58-59)
menempatkan menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang
kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemapuan tersebut
menjadi lima kemampuan utama
a.sebutkan lima kemapuan tersebut
b.apa perbedaan mengenali emosi dan mengelola
emosi?
4. a.Sebutkan 4 tanda SQ yang berkembang
dengan baik!
b.bagaimana melatih kecerdasan spiritual?
5. a.jelaskan 2 perilaku berdasarkan
bentuk respons terhadap stimulus?
b.bagaiman proses terjadinya perilaku menurut
rogers?
KUNCI JAWABAN
Soal pilihan ganda
1. d
2. a
3. b
4. c
5. a
|
Soal Benar – Salah
1. B
2. S
3. S
4. S
5. B
|
Soal Menjodohkan
1. A
2. E
3. D
4. C
5. B
|
Soal Essay
1. kemampuan numerikal (berhitung),
spasial (ruang), dan linguistic (bahasa).
2. Kecerdasan Emosional (EQ) adalah
kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri agar ia
tetap bisa mengambil keputusan dengan tenang.
3. Kecerdasan Adversity (AQ) adalah
kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.
4. kemampuan untuk memahami makna
(meaning) dan nilai (value) tertinggi kehidupan serta tujuan (vision) fundamental
kehidupan.
5. kecerdasan adalah pemandu bagi kita
untuk mencapai sasaran-sasaran kita secara efektif dan efisien.
Soal Uraian
1.(a)Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja
konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan.
Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan
yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk
memperbaiki respons terhadap kesulitan.
(b). 1) listen atau dengarkanlah respons
terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas
akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu.
2.(a). dimensi yang terkait dengan kecerdasan
menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali mempertanyakan berapa
banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan
kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan dua hal, yakni: siapa atau
apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai sejauhmanakah seseorang
mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan mempertanyakan
sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke bagian-bagian lain dari
kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan mempertanyakan dua hal,
yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan lamanya penyebab kesulitan
tersebut akan bertahan?
(b). Kecerdasan adversity terdiri atas
empat komponen yang tercakup dalam akronim CO2RE. Komponen-komponen CO2RE ini
akan menentukan kecerdasan adversity individu secara
menyeluruh (Stoltz, 2005).
3.(a). Mengenali Emosi Diri, mengelola emosi, mengenali emosi orang lain,
memotivasi diri sendiri, membina hubungan.
(b). Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari
kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai
metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya
sendiri. Sedangkan Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai
keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi.
4.(a). Kemampuan bersikap fleksibel
(adaptif secara spontan dan aktif), Tingkat kesadaran diri yang tinggi,
Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan, Kemampuan untuk
menghadapi dan melampaui rasa sakit .
(b) Management of anger, Random
act kindness, Kesabaran dan kemampuan menemukan misi hidup,.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Alma, B. (2005). Kewirausahaan untuk mahasiswa
dan umum. Bandung: CV Alfabeta.
Stoulz, P. (2000). Adversity Quotient
Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana
Indonesia
________. (2009). Kecerdasan Adversity. [Online].
Tersedia:http://wangmuba.com /2009/03/07/kecerdasan-adversity/. [8
Agustus 2009]
_______. (2009). Perkembangan Konsep
Kecerdasan atau Intelegensi.[Online]. Tersedia:http://massofa.wordpress.com/2008/10/09/perkembangan-konsep-kecerdasan-atau-inteligensi/
_______. (2009). Kecerdasan. [Online].
Tersedia:lelakibiasa.multiply.com/journal /item/74. [8 Agustus 2009].
________. (2009). Kecerdasan Adversity. [Online].
Tersedia:http://www.pusakahati.com /index.php?option=com_content&view=
article&id =27:the-joomla-community&catid=34:artikel&Itemid=53.
[8 Agustus 2009]